Mutiara Hari Ini

""BANGKITLAH NEGERIKU,INDONESIA. HARAPAN ITU MASIH ADA. BERJUANGLAH BANGSAKU JALAN ITU MASIH TERBENTANG"

AGRONOMIC TRICKS

Bagaimana Agar Efisien Dalam Pemakaian Benih Padi ?

1. Siapkan Lahan semai kira-kira seperduapuluh dari luas areal tanam. Contoh : KAlau lahannya seluas 1000 m2, maka kebutuhan semai benih adalah cukup 50m2.
2. Sebarkan pupuk dasar SP-36 atau pupuk merk lain yang berkomponen inti phospat. Berfungsi untuk memperkuat dan merangsang pertumbuhan akar.
3. Kemudian sebarkan abu dapur/ pasir tipis-tipis di permukaan lahan semai. Dimaksudkan agar tanah tidak bantat, sehingga benih mudah untuk dicabut ketika masih berumur muda.
4. Kemudian sebarkan benih padi dengan kerapatan yang agak lebar ( jarang).
5. Biasanya umur 15-21 hari (bandingkan dengan kebiasaan petani yang cabut benih umur 25-35 hari) setelah sebar benih sudah siap cabut. Jangan terlalu tua,karena akar akan terlanjur menyebar.
6. Tanam satu per satu. Tidak perlu 3 - 5 tanaman perlubang. Sehingga kebutuhan benih lebih hemat.

Selamat mencoba.....


Rabu, 16 Juli 2008

Dari Gus Mus Corner

Suara Hati, Sabda Insani

Oleh: Muhammad Soffa Ihsan

Ada sebuah ungkapan yang dikenal di kalangan orang-orang kerohanian, bahwa di dalam diri manusia ada “ruang kosong” yang harus kita isi dengan hal-hal yang baik. Jika kita tidak mengisinya dengan hal-hal yang baik, maka ruang kosong itu, otomatis akan diisi dengan hal-hal yang buruk.

Ibarat sebuah roda, ruang kosong itu adalah yang menjadikannya sebagai roda. Ruang kosong itulah yang menjadikan kita berarti secara spiritual sebagai manusia. Itulah hati nurani atau suarahati!

Apa yang berkaitan dan sering dibicarakan sebagai "suara hati" (conscience) ini dalam Islam digambarkan dengan berbagai nama, qalb, fu`âd, lûbb, sirr, `aql, dan sebagainya, yang semuanya berhubungan dengan pengertian kesadaran, atau biasa disebut dalam wacana Islam sebagai "hati" (qalb, kalbu) saja. Kata “qalb” berasal dari kata qalaba yang artinya "membalik" atau berpotensi bolak-balik. Suatu saat merasa senang, dan di saat lain merasa susah, di suatu saat menerima, di saat lain meolak. Sehingga, hati seringkali tidak konsisten, sehingga dibutuhkanlah cahaya Ilahi (maka disebut "hati-nurani", hati yang bercahaya). Hati bisa "bolak-balik" sebab, kadangkala ia menerima bisikan malaikat (lammah malakîyah), kadangkala bisikan setan (lammah syaithânîyah), kadangkala bisikan nafsunya sendiri.
Walaupun kata "hati" ini barangkali kurang mengena bagi orang-orang modern dewasa ini yang terbiasa dengan wacana ilmu pengetahuan yang rasional, tetapi asing dengan istilah-istilah metafor, seperti "hati" yang lebih banyak merupakan tamsil dari ilmu-ilmu kearifan, tetapi justru inti ajaran agama yang membawa manusia pada moralitas luhur (akhlâq al-karîmah) ada dalam wacana suara hati ini.

Imam al-Ghazali membahas soal suara hati ini dalam salah satu babnya dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din yang sangat terkenal. Pembahasan al-Ghazali tentang hati dalam kitab tersebut, dapat dibandingkan dengan pembahasan tentang “Kecerdasan Emosi” (Emotional Intelligence) dalam psikologi kontemporer. Al-Ghazali menjelaskan “hati” sebagai acuan yang harus dikembangkan dalam pencapaian kehidupan rohani. Bahkan, ia menafsirkan hati sebagai esensi dari kemanusiaan itu sendiri. Ia membandingkan hati dengan sebuah kaca yang mencerminkan segala sesuatu di sekelilingnya. Jika hati ada dalam situasi yang kacau, di mana akal-budi (`aql), yakni potensi yang dapat mengembangkan suara hati ini ditaklukkan dan tak dikenali, maka hati menjadi “mendung dan gelap”.

Sebaliknya, jika keseimbangan yang benar ditegakkan, kaca hati tersebut akan mencerminkan kecemerlangan bidang rohani, dan dengan demikian terbukalah sifat-sifat langit, dan terpantullah akhlak Allah. Sesuai dengan Hadits Nabi, “Hiasilah dirimu dengan akhlak Allah”. Melalui dzikir kepada Allah, dan terhiasinya sifat-sifat positif dari akhlak-Nya, maka suara hati ini (kesadaran moral) pun mencapai apa yang dalam agama disebut “jiwa yang tenang” (nafs al-muthmainnah) yang membuka pintu bagi kedekatan kepada Allah. Sehingga, hati menjadi tempat bagi ingatan akan Allah, dan jadilah hati ini menjadi cahaya Allah.

Islam menyebut bahwa melalui hati inilah manusia menemukan kesadaran ketuhanannya yang nantinya akan mempunyai segi konsekuensial pada kesadaran moral dan sosialnya. Kesadaran yang disebut ketakwaan ini tumbuh dalam hati. Sebaliknya, dosa dan kekafiran juga berkembang dalam hati.

Islam menegaskan bahwa manusia itu pada dasarnya baik. Pelihara saja itu, tidak usah ditambahi dan dikurangi. Meminjam istilah Dante Alegieri dalam bukunya Divina Comedia, menurut Islam manusia itu dilahirkan dalam fitrah yang suci. Seorang bayi, hidup dalam alam paradiso (kalau mati langsung ke surga). Dalam perkembangan selanjutnya-dalam istilah keagamaan- karena kelemahannya sendiri, sang bayi yang tumbuh pelan-pelan menjadi dewasa ini lalu tergoda, karena tarikan kehidupan dunia, sehingga sedikit demi sedikit ia masuk ke alam inferno, yaitu “neraka dunia” (metafor untuk mereka yang menjauhi diri dari suara hatinya yang suci). Karena dosa, hatinya pun menjadi kotor.

Kemudian, dalam suatu keadaan yang disebut penyucian, manusia dilatih kembali untuk lepas dari inferno-nya, dari neraka dirinya. Inilah proses ke alam porgatorio, alam pembersihan diri, dimana akan terbuka kembali alam kefitrahannya. Pada dasarnya, setiap manusia dilahirkan dalam kefitrahan ini. Sebenarnya, fitrah ini bukanlah sesuatu yang didapatkan, tetapi sesuatu yang “ditemukan kembali”. "Maka hadapkanlah wajahmu benar-benar kepada agama, menurut fitrah Allah yang atas pola itu Dia menciptakan manusia. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah, itulah agama yang baku, tetapi kebanyakan manusia tidak tahu." (Q. s. al-Rûm. 30:30).

Lawan dari fitrah ini adalah dosa. Apa itu dosa? Al-Quran menyebut orang yang berdosa itu sebagai dzalim. Secara harafiah, dzalim artinya orang yang menjadi gelap. Dosa dalam bahasa Arab, dzulmun, kegelapan, artinya membuat hati yang gelap (suara hati yang tertutup). Kalau seseorang banyak berdosa, maka hati (suara hati)-nya tidak lagi bersifat nuraniy (bersifat cahaya), tetapi sudah dzulmaniy.

Kata dzulmani ini sebagai lawan dari nurani, supaya kita tahu bahwa tidak semua orang itu mempunyai hati nurani atau suara hati. Hanya orang baik saja yang mempunyai hati nurani, sedangkan orang jahat hatinya tidak lagi bernurani. Hati jahat sudah menjadi dzulmaniy, menjadi gelap, sehingga tidak lagi peka terhadap apa itu baik dan buruk, benar dan salah. Dalam keadaan gelap inilah ada kesengsaraan, muncullah malapetaka kerohanian, akibat ketidaktahuan diri. Orang yang berdosa adalah orang yang tidak mengenal dirinya, orang yang lupa akan dirinya. Orang yang membungkam suara hatinya, untuk menyenangkan hawa-nafsunya.

Ada Hadits "Barang siapa yang tahu dirinya, maka dia tahu Tuhannya". Hadits ini mengungkapkan bahwa ada orang yang tahu diri, dan ada orang yang lupa diri. Memang, tidak berarti bahwa tahu diri, berarti tahu Tuhan, tapi ini penting untuk suatu simbolisasi, tentang siapa diri kita ini, yang bisa kita kenal melalui introspeksi atau mawas diri (ihtisab). Dengan itu, kita akan mengalami peningkatan kualitas kemanusiaan kita sedemikian rupa, sehingga kita seolah-olah tahu Tuhan (ihsan). Dalam diri orang yang ihsan inilah ada kecemerlangan suara hati.

Konsep fitrah dalam Islam pada dasarnya menyangkut konsep tentang manusia yang utuh secara keagamaan, seseorang yang suara hatinya berfungsi secara optimum. Jika manusia merindukan fitrahnya, merindukan suara hati sejatinya, maka sebenarnya ini adalah kerinduan manusia kepada “kesempurnaannya”. Agama menyebut, manusia akan utuh, apabila dia mencerminkan sifat-sifat Ilahi dalam dirinya, apabila dia memenuhi perintah Allah. Sebaliknya, bagi orang yang lupa kepada Tuhan, maka dia tidak mungkin akan menjadi manusia yang utuh. Dia menjadi manusia yang “terpecah” dari akar primordialnya, kefitrahannya, yang menjadikan suara hatinya pun tidak berfungsi.

Tidak ada komentar: